Poet.
Berpuisi

2900

Tunggu aku pulang dua ribu sembilan ratus tahun lagi. Bersama ibu atau sendiri, sendiri atau bukan aku lagi. Jangan bertanya apa kabar, aku pasti sudah baik-baik saja. Hujan dan seseorang yang kupeluk tahun lalu sudah membasuh bersih luka yang pernah kau beri, tahun lalu juga ia berlalu pergi.

Ketahuilah tempat terakhir kali kita bersua sudah tidak lagi berduka, kau pernah bilang “ini tempatnya belum banyak orang yang tau, cantikkan? Eh tapi lebih cantik kamu sih” aku tau itu sebuah candaan, tapi entah perasaanku terjun jauh tanpa aku perintah mulai, mau berhenti pun tak bisa. Di tempat itu, terakhir juga pertama dimulainya rasa yang tak pernah kau ketahui, sekarang sudah ramai pengunjung, berpasangan, sendiri, bahkan sekeluarga. Dan hujan masih satu-satunya dingin yang tetap kupeluk setiap ia datang.

Suatu malam sengaja aku keluar rumah saat sedang hujan, “saatnya menangis” pikirku, di warung aku berhenti badanku menggigil tak karuan, beruntung warung itu masih buka “dari mana mba? Kok hujan-hujan?” Ibu penjaga warung menyapaku “dari rumah bu. Bu, rokok gudang garam satu sekalian sama koreknya bu” Ia tersenyum sambil mengambilkan pesananku. Dan juga memberiku sedikit pesan “mba, ibu tau pasti banyak kejadian-kejadian yang terjadi di dalam kepala mbanya. Tapi itu semua bukan untuk mengajarkan mba untuk menyakiti diri sendiri, terima dan ikhlaslah pesan dari semua itu, semua akan baik-baik saja selama mba berlapang dada untuk menghadapinya, jadikan semua itu teman baik di dalam diri mba” ibu itu duduk di hadapanku seraya memberikan ku segelas teh panas juga ada irisan jahe di dalamnya padahal aku tidak memintanya “minumlah, ini bisa sedikit menghangatkan tubuh mba. Tenang saja ini gratis kok” ibu itu kembali tersenyum, persis senyuman ibuku, hangat sekali, padahal jika disuruh bayarpun aku tidak sama sekali keberatan.

Panjang sekali kami berdua bercengkrama di sela-sela bunyi guyuran hujan, teh hangat dan sebatang gudang garam di ujung jari kananku. Tidak terasa hujan reda, jam di layar telepon genggamku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. “Hujannya sudah reda bu, saya pamit pulang dulu ya. Terima kasih teh hangat juga wejangannya” pamitku sebelum beranjak dari tempat dudukku “iya, sudah malam juga, hati-hati ya di jalan jangan ngebut jalanan pasti licin habis hujan gini” balasnya dan tak lupa dengan senyuman hangat yang membuatku rindu ibu di kampung halaman “Iyaa bu siap, oiya kalo besok-besok saya mampir kesini lagi gapapa kan bu, biasa mau beli rokok pokoknya stok rokok gudang garam di sini jangan sampai habis ya bu biar saya bisa ke sini terus hehe” celotehku jenaka “iya iya kapanpun mbanya bisa kesini kok, ga ada rokok pun bisa” “Okeyyy syippp, dahh bu assalamualaikum” “Waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh”. Oiya ibu itu pernah bilang juga begini “mencintai seseorang tak mengapa, tapi jangan pernah memintanya untuk membalas cintamu, biarkan ia tumbuh dengan sendirinya tanpa kamu pinta”. Mulai saat itu aku tak pernah lagi mencarimu atau mencari tahu tentangmu. Rindu tidak akan pernah melipir kemana-mana jika itu tertuju untukku, pikirku.